“Hai nona , raut wajahmu masih terlihat datar persis seperti
terakhir kali kita berbincang tempo hari, bagaimana kabarmu? Aku masih
menyimpan perbincangan usang kita kemarin”
Kalimat yang ku awali ketika kita akhirnya
bertatap muka lagi setelah sekian lama kita hanya berbincang perlu via seluler,
dengan melempar senyum dan sedikit menggoda aku memulai percakapan.
“baik, kabarmu?” dengan
nada memaksa dan tetap membelakangiku.
“so far so good, ya walaupun harus ngomong sm sikut” ledekku, yang kemudian disambut dengan lesung pipitnya yang
mengembang, setelah itu hening.
Bagiku ini bukan hal baru, sosoknya
memang mulai terbiasa tampil seperti itu, aku maklum karna dia pun bagitu maklum
menghadapi aku yang semakin cerewet menghadapinya.
Di bale bambu belakang rumah,
kami menikmati sepoi angin yg mengantarkan kami pada senja, setelah lama di
kuasai suasana dingin akhirnya aku
mencoba membuka topik, setelah merasa mantap memilih tema yg tepat.
“Bagaimana skripsimu?” aku
memcah keheningan.
Tidak ada tanda-tanda jawaban
darinya.
Ku fikir anak ini tak menanggapiku,
tatapanya kosong dan sesekali hanya memainkan ranting pohon yang jatuh di
sampingnya. atau mungkin ia tak mendengar pertanyaaanku, baik kucoba ulangi
pertanyaanku
“hai
nona bagaimana dengan skripsimu?? Lancarkah ??” . tegasku.
“apa ?? skripsi..??” jawabnya
sambil menoleh ke arahku datar.
“oke baiklah, mungkin memang tidak semua hal harus di selesaikan dengan
cepat tapi pahamilah mempertanggung jawabkan dengan tepat itu berlaku untuk
sgala hal”. Kataku untuk mengakhiri topik ini.
Kemudian kembali hening.
Aku memang kerap kali dibuat mati
gaya oleh wanita berlesung pipit ini, tapi aku selalu punya cara untuk
membuatnya kembali larut dalam perbincangan syahdu kita. Sebenarnya mudah,
hanya dengan secangkir kopi favoritnya.
Lalu aku beranjak ke dapur.
“iniih…” aku
menyodorkan secangkir kopi hangat. Hati-hati
masih panas”.
“terimakasih” katanya setelah menyeruput isi
cangkir. Matanya terpejam, “ enak
sekali.”
“tadi aku melihat moly lari ketakutan, apa belum kau beri
makan sampai ia harus mencuri ikan tetangga?”
“oh.. itu..” wajahnya
tenang tapi tak menghiraukan.
“itu apanya? moly
bagaimana?” lagi-lagi aku harus menegaskan dan
sedikit mengeraskan nada suaraku.
“bahkan sudah seminggu aku tidak mendengar suaranya
me-ngeong” jawabnya datar.
“keterlaluan! Bahkan seeokor hewan pun enggan hidup bersama
mu.” Sahutku kesal
Tatapanya tetap tenang, dan sesekali
menyeruput kopinya lalu menatapku dingin. Aku takut kata-kataku tadi
menyinggungnya, tapi aku juga semakin geram dibuatnya, rasanya ingin ku
maki-maki saja anak ini. Tapi setiap kali merasa kesal dan ingin memaki aku
slalu mengurungkan niatku ketika mengingat beban hidup yg harus dipikulnya
memang cukup berat, mana mungkin aku tega menambah 1 lagi beban makian.
Tetiba suarnya bergeming.
“kita semua diciptakan untuk saling meninggalkan, berdiri
dalam kebersamaan dan kemudian berlalu sampai salah satunya merasa terabaikan.
Jadi jangan heran kalau moly pun berlaku demikian."
Aku merasakan hantaman yang lebih
sakit dari sebuah pukulan. Sebegitu dahsyat kah beban hidup yg menghujamnya? Atau
sebegitu dalam kah aku menyinggungnya? Sungguh aku tak mampu mengendalikan diri, mataku basah dan
tanpa sadar memeluknya erat. Sambil menahan sesak, kukatakan padanya.
“karna hanya Alloh yg tidak akan meninggalkanmu dan satu
hambanya, Aku.”