Rabu, 10 Oktober 2012

dinginmu tak membuatku beku



“Hai nona , raut wajahmu masih terlihat datar persis seperti terakhir kali kita berbincang tempo hari, bagaimana kabarmu? Aku masih menyimpan perbincangan usang kita kemarin”

Kalimat yang ku awali ketika kita akhirnya bertatap muka lagi setelah sekian lama kita hanya berbincang perlu via seluler, dengan melempar senyum dan sedikit menggoda aku memulai percakapan.

“baik, kabarmu?” dengan nada memaksa dan tetap membelakangiku.

“so far so good, ya walaupun harus ngomong sm sikut” ledekku, yang kemudian disambut dengan lesung pipitnya yang mengembang, setelah itu hening.

Bagiku ini bukan hal baru, sosoknya memang mulai terbiasa tampil seperti itu, aku maklum karna dia pun bagitu maklum menghadapi aku yang semakin cerewet menghadapinya.


 Di bale bambu belakang rumah, kami menikmati sepoi angin yg mengantarkan kami pada senja, setelah lama di kuasai suasana dingin  akhirnya aku mencoba membuka topik, setelah merasa mantap memilih tema yg tepat.

“Bagaimana skripsimu?” aku memcah keheningan.

Tidak ada tanda-tanda jawaban darinya.

Ku fikir anak ini tak menanggapiku, tatapanya kosong dan sesekali hanya memainkan ranting pohon yang jatuh di sampingnya. atau mungkin ia tak mendengar pertanyaaanku, baik kucoba ulangi pertanyaanku

 “hai nona bagaimana dengan skripsimu?? Lancarkah ??” . tegasku.

“apa ?? skripsi..??” jawabnya sambil menoleh ke arahku datar.

“oke baiklah, mungkin memang  tidak semua hal harus di selesaikan dengan cepat tapi pahamilah mempertanggung jawabkan dengan tepat itu berlaku untuk sgala hal”. Kataku untuk mengakhiri topik ini.

Kemudian kembali hening.

Aku memang kerap kali dibuat mati gaya oleh wanita berlesung pipit ini, tapi aku selalu punya cara untuk membuatnya kembali larut dalam perbincangan syahdu kita. Sebenarnya mudah, hanya dengan secangkir kopi favoritnya. 

Lalu aku beranjak ke dapur.


“iniih…” aku menyodorkan secangkir kopi hangat. Hati-hati masih panas”.
 
“terimakasih” katanya setelah menyeruput isi cangkir. Matanya terpejam, “ enak sekali.”
 
“tadi aku melihat moly lari ketakutan, apa belum kau beri makan sampai ia harus mencuri ikan tetangga?”
 
“oh.. itu..” wajahnya tenang tapi tak menghiraukan.

 “itu apanya? moly bagaimana?” lagi-lagi aku harus menegaskan dan sedikit mengeraskan nada suaraku.

“bahkan sudah seminggu aku tidak mendengar suaranya me-ngeong” jawabnya datar.

“keterlaluan! Bahkan seeokor hewan pun enggan hidup bersama mu.” Sahutku kesal

Tatapanya tetap tenang, dan sesekali menyeruput kopinya lalu menatapku dingin. Aku takut kata-kataku tadi menyinggungnya, tapi aku juga semakin geram dibuatnya, rasanya ingin ku maki-maki saja anak ini. Tapi setiap kali merasa kesal dan ingin memaki aku slalu mengurungkan niatku ketika mengingat beban hidup yg harus dipikulnya memang cukup berat, mana mungkin aku tega menambah 1 lagi beban makian.

Tetiba suarnya bergeming.

“kita semua diciptakan untuk saling meninggalkan, berdiri dalam kebersamaan dan kemudian berlalu sampai salah satunya merasa terabaikan. Jadi jangan heran kalau moly pun berlaku demikian."

Aku merasakan hantaman yang lebih sakit dari sebuah pukulan. Sebegitu dahsyat kah beban hidup yg menghujamnya? Atau sebegitu dalam kah aku menyinggungnya? Sungguh aku tak  mampu mengendalikan diri, mataku basah dan tanpa sadar memeluknya erat. Sambil menahan sesak, kukatakan padanya.

“karna hanya Alloh yg tidak akan meninggalkanmu dan satu hambanya, Aku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar